Perlunya Klinik Ketahanan Keluarga
Â
Banyaknya kasus perceraian menjadi keprihatinan kita bersama. Karena kita sangat menyadari bahwa banyaknya kasus-kasus tersebut bukan sekedar sebagai potret buram keluarga kita, tetapi juga sebagai cerminan bahwa tugas kita terkait upaya mewujudkan keluarga berkualitas masih banyak kendala. Menurut Dr. Sudibyo Alimoesa, MA, mantan Deputi Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga BKKBN, di level nasional, dari sekitar 2 juta pernikahan, terjadi sekitar 40 perceraian setiap jam (tertinggi di Asia Pasifik). Di DIY sendiri, kasus perceraian juga marak. Setidaknya, di tahun 2017, dari 25 ribu perkawinan terdapat 1.235 kasus perceraian atau 4,94Þngan kasus tertinggi di Kabupaten Kulon Progo yang mencapai 12,77Úri total perkawinan. Bahkan di tahun 2018, kasus perceraian ini masih cukup tinggi, yakni 12,06%
Dalam rangka mengurangi kasus perceraian yang umumnya diawali dengan kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), kekerasan terhadap perempuan dan kekerasan terhadap anak, diperlukan upaya serius melalui kegiatan nyata yang melibatkan pemerintahan desa/kelurahan, lintas sektor dan segenap komponen masyarakat. Salah satu kegiatan nyata yang dimaksud adalah dengan membentuk Klinik Ketahanan Keluarga di setiap desa/kelurahan.
Klinik Ketahanan Keluarga merupakan lembaga konsultasi bagi keluarga yang ditangani yang ditangani oleh desa yang melibatkan berbagai pihak dengan tujuan untuk mencegah kasus perceraian melalui upaya penguatan 8 fungsi keluarga (keagamaan, sosial budaya, cinta kasih, perlindungan, reproduksi, sosialisasi dan Pendidikan, ekonomi dan pembinaan lingkungan) untuk mewujudkan keluarga berkualitas atau keluarga sejahtera. Keluarga sejahtera yang dimaksud adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan material yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang serasi, selaras, dan seimbang antar anggota dan antara keluarga dengan masyarakat dan lingkungan.
Agar dapat menjalankan fungsinya dengan baik, Klinik Ketahanan Keluarga selain membutuhkan kepengurusan yang solid yang dikuatkan dengan SK Kepala Desa, juga membutuhkan tenaga konselor yang memliki kompetensi di bidangnya sesuai fungsi-fungsi yang akan dikuatkan/dimantapkan pelaksanaannya dalam lingkungan keluarga. Mereka diambil dari masyarakat desa setempat atau petugas yang memiliki binaan di desa tersebut seperti tokoh agama, tokoh masyarakat, TP PKK, pemuda/karang taruna, pengusaha, kader Posyandu/KB, Bidan Desa, Babinsa, Babinkamtibmas, Penyuluh KB, Penyuluh Pertanian, Penyuluh Agama, dll.
Tidak kalah pentingnya, klinik ini harus memiliki visi dan misi serta program kerja yang jelas selama tahun berjalan. Juga memiliki data-data yang akurat terkait dengan kasus perceraian, kasus KDRT, kekerasan terhadap perempuan, kekerasan terhadap anak dan data keluarga yang rentan ketahanan keluarganya di wilayah desa binaan. Keluarga rentan yang dimaksud adalah keluarga rentan yang mencakup 4 stadium dengan tingkat keparahan yang berbeda. Stadium 1 adalah keluarga yang sering cekcok dan tidak ada saling kepercayaan antara anggota keluarga. Stadium 2 adalah keluarga di mana suami atau isteri memiliki Wanita Idaman Lain (WIL) atau Pria Idaman Lain (PIL). Stadium 3 adalah keluarga yang sudah pisah rumah dan Stadium 4 adalah keluarga yang sudah bertekad untuk bercerai yang dibuktikan dengan permohonan cerai.
Idealnya, Klinik Ketahanan Keluarga memiliki sekretariat dan tempat yang nyaman untuk konsultasi. Di tempat itu, keluarga yang bermasalah dapat berkonsultasi pada konselor untuk mencari permasalahan yang dihadapinya. Namun saat ini, dengan memanfaatkan teknologi, konsultasi dapat dilakukan dengan cara lain yang dari sisi waktu, tenaga, biaya, kenyamanan dan kerahasiaan dirasa lebih terjamin. Cara yang dimaksud adalah melalui telepon atau whatsapp (WA). Bisa juga menggunakan video call atau media lainnya misalnya melalui surat atau konselor diminta ke rumah keluarga yang bermasalah tersebut.