You must have JavaScript enabled in order to use this theme. Please enable JavaScript and then reload this page in order to continue.
Loading...
Logo Kalurahan KALIDENGEN
Kalurahan KALIDENGEN

Kap. Temon, Kab. KULON PROGO, Provinsi DI Yogyakarta

URIP IKU KUDU MANFAAT JANGAN MELIHAT KENIKMATAN ORANG LAIN KECEMASAN YANG BERLEBIHAN BISA MENGIKIS KEIMANAN

MENANTI LAHIRNYA GENERASI BARU PETANI

ttd carik 04 November 2019 Dibaca 503 Kali

MENANTI LAHIRNYA GENERASI BARU PETANI
Bak Tikus Mati di Lumbung Padi

Menteri Pertanian berganti 35 kali dan Menteri Pendidikan 31 kali sejak Indonesia berdiri 1945. Tapi, generasi baru petani tidak lahir selaras pertumbuhan penduduk dua persen setiap tahun. Mengapa?

BPS pada November 2018 melansir, pekerja di sektor pertanian tercatat 35,7 juta orang atau 28,79 persen dari jumlah pekerja 124,01 juta jiwa. Di tahun sebelumnya tercatat 35,9 juta orang atau 29,68 persen dari jumlah pekerja 121,02 juta orang (jumlah-petani-berkurang-tingkat-pengangguran-di-desa-naik, cnnindonesia.com, 5/11/2018). Jika melihat angka itu, terjadi penurunan jumlah petani 0,6 persen.

Kata "sektor" juga menunjukkan turut terserapnya pihak yang tidak terlibat langsung masuk dalam kategori pekerja tani. Dengan demikian, jumlah petani yang terlibat langsung lebih kecil lagi dari angka itu. Dan lebih penting dari itu, petani yang tercatat dalam sirkuit angka itu sebagian besar kalangan udzur pewaris pola bercocok tanam tradisional. Mereka terpanggil bertani untuk mencukupi kebutuhan sendiri (sub-sisten) atau tak cukup mampu bersaing di sektor lain.

Belum jika data statistik petani (dan lahan yang konon menurut mantan Mentan Amran Sulaiman penuh mafia itu), kita shortir lagi dalam kategori memang petani (farmer) dan buruh tani (peasent), bisa makin berkurang lagi jumlah petani sungguhan yang kita miliki setiap tahun.

Pertanyaannya: apakah sektor pertanian sudah benar-benar ditinggalkan generasi muda? Apakah bertani tidak memiliki peluang masa depan? Apakah lembaga-lembaga pertanian dan pendidikan tidak mampu menciptakan generasi baru petani?

Fakta-fakta berikut ini akan menjadikan penduduk Indonesia bak tikus mati di lumbung padi jika generasi petani baru tidak segera dilahirkan:

1) Luas lahan produktif pertanian Indonesia, berdasar data BPS yang sama: 7,1 juta Ha atau setara hampir 100 kali lipat luas Singapura 72,1 ribu Ha. Membuat kita pantas disebut negara produsen unggul hasil pertanian. Dibanding Thailand sekalipun Indonesia negeri yang sangat subur dengan gugusan valcano yang tak mereka miliki. Pendek kata, fakta kesuburan Indonesia persis nyanyian Koesploes "tanah kita tanah surga" (paradise of island) bagi petani.

2) Pangan adalah isu strategis dunia dan kita berada dalam lokus itu, baik sebagai produsen maupun konsumen.

3) Bonus demografi 2030 masih menyisakan waktu efektif 10 tahun, dan cukup dengan sisa waktu itu membangun pendidikan vokasi dan skill pertanian bagi generasi baru petani.

4) Tren kesehatan kuliner dunia makin menurun selaras laju kontaminasi industri pestisida sintetik, membuka peluang bertani dengan kekuatan bahan lokal yang dimiliki Indonesia.

5) Era industri collaborative dalam isu strategis pangan akan menjadikan pertanian sentral hub bisnis masa depan sepanjang tidak mendistorsi peran subjek petani.

Melihat itu semua, Kementerian Pertanian dan Kementerian Pendidikan adalah lembaga yang paling bertanggung jawab menciptakan lahirnya generasi petani baru.

Tapi, sembari menarik gerbong mogok, wabil khusus Kementerian Pertanian, mari kita lakukan secara mandiri pelahiran generasi petani baru di lingkungan kita sendiri. Supaya kita tidak disebut tukang kritik yang tak bisa memberi contoh.

Dakka bin Muttaqin, anak usia empat tahun, yang tengah menyemprot MOL bakteri trikoderma pada kompos seperti di video ini, mungkin salah satu generasi baru petani millenial yang ditunggu-tunggu itu. Ia setiap sore bermain di Omah Dongeng Marwah,

Salam dongeng!
Hasan Aoni, Omah Dongeng Marwah

Beri Komentar
Komentar baru terbit setelah disetujui oleh admin
CAPTCHA Image