Jurnalis Pullitzer : Kita "Dijajah" Facebook [KBR|Warita Desa] Jakarta| Perusahaan internet raksasa seperti Facebook dan Google bisa memanfaatkan data pribadi warga dunia untuk beragam kepentingan, mulai dari riset, bisnis, sampai politik. Namun, pemanfaatan data itu bisa saja mereka lakukan tanpa persetujuan, bahkan tanpa sepengetahuan orang-orang yang bersangkutan. Problem itu dibahas jurnalis finalis Pullitzer Carole Cadwalladr dalam acara Indonesia Data and Economic Conference 2020 yang digelar Katadata.co.id di Hotel Kempinski, Jakarta, Kamis (30/1/2020). Dalam acara ini, Carole mengulas masalah perlindungan data pribadi bersama jurnalis senior Tempo Bambang Harymurti. Data Pribadi Ibarat Rempah di Zaman Kolonial Jurnalis senior Tempo Bambang Harymurti mengumpamakan data pribadi seperti rempah-rempah di zaman kolonialisme Belanda. "Empat ratus tahun lalu, rempah tumbuh begitu saja di halaman kita. Kita tidak tahu nilai dan dan kegunaannya. Lalu datang kolonial Belanda ke Indonesia, menjajah kita. Kita memberi mereka rempah-rempah itu secara gratis, dan mereka menjualnya dengan harga tinggi di Eropa," ujar Bambang. "Sekarang hal itu terjadi pada data pribadi. Kita memberi data pribadi secara gratis (ke perusahaan internet), dan mereka menjualnya ke pihak lain tanpa sepengetahuan kita," lanjutnya. Perumpamaan itu lantas diamini oleh Carole Cadwalldr. "Kita adalah pihak yang terjajah di bawah imperium Facebook. Mereka menjadikan (data pribadi) kita komoditas. Mereka menjadi sangat kaya, dan mengganggu kehendak bebas kita," kata Carole. Carole adalah jurnalis asal Inggris yang menjadi kandidat pemenang penghargaan Pullitzer. Ia mendapat sorotan dunia karena pernah menginvestigasi skandal Cambridge Analytica, kasus pemanfaatan data Facebook jutaan warga Amerika Serikat (AS) untuk kampanye politik Donald Trump. Bertolak dari kasus tersebut, Carole mengajak warga dunia agar tidak memercayakan sepenuhnya data pribadi kepada perusahaan-perusahaan internet. "Kita tidak tahu bagaimana data pribadi kita 'dipanen' dan dimanipulasi. Tapi mereka (perusahaan internet) membangun monopoli dan memperoleh kekayaan luar biasa dari situ (pemanfaatan data pribadi)," kata Carole. "Ada ketidakseimbangan kekuasaan di situ (praktik pemanfaatan data pribadi). Kita harus menyadarinya dan mengambil alih kendali," ujar Carole. Menuntut Kendali atas Data Pribadi Carole menegaskan penggunaan data pribadi mestinya dikendalikan lewat aturan pemerintah, seperti aturan General Data Protection Regulation (GDPR) yang berlaku di Uni Eropa. GDPR mengharuskan perusahaan pengelola data pribadi, seperti Google dan Facebook, agar menginformasikan pemakaian data pribadi kepada warga. Dengan adanya GDPR, warga Uni Eropa bisa meminta informasi soal penyimpanan, pemanfaatan, pemindahtanganan, sampai penghapusan data pribadi mereka. Carole pun berharap hal serupa bisa dilakukan di Indonesia lewat RUU Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) yang sedang digodok DPR. "Saya berharap itu (RUU PDP) bisa membantu orang-orang mendapat akses dan wawasan tentang apa yang sebenarnya terjadi, dan bagaimana perusahaan memanfaatkan data pribadi," kata Carole. "Membangun kesadaran publik adalah hal penting. Salah satu prinsipnya, data pribadi itu bukan komoditas, tetapi hak asasi yang harus dilindungi," tegasnya. Oleh : Adi Ahdiat Editor: Agus Luqman