Mengapa Difabel Lebih Rentan Jatuh Miskin [Solider|Warita Desa] Sekira dua bulan lalu, pemerintah Indonesia resmi mensahkan Peraturan Pemerintah (PP) No.52 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial bagi Penyandang Disabilitas. PP ini merupakan turunan dari Undang-undang no. 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas sekaligus menjadi PP pertama dari 8 PP yang harus disahkan Pemerintah. Lahirnya PP ini menjadi titik terang bagi masyarakat difabel untuk mendapatkan hak-haknya sebagai warga Negara. Selain itu, PP ini dapat menjadi panduan bagi pemerintah dalam menjalankan tanggungjawabnya. Meski begitu, sebagai sebuah teks kebijakan tentu tidak terlepas dari konteks difabel hari ini. Ada beberapa pertanyaan dasar yang patut diketengahkan dari lahirnya PP tersebut. Pertama, dari aspek politik, bagaimana PP ini merepresentasikan keberpihakannya terhadap masyarakat difabel. Kedua, dari aspek administrasi sebuah kebijakan, bagaimana persinggungan PP ini dengan kebijakan yang lain, terutama UU No. 8 tahun 2016 yang disahkan tiga tahun lalu. Untuk menanggapi pertanyaan pertama, sekiranya akan tepat jika menariknya pada dua poin pembacaan. Pertama, proses bagaimana PP ini dibentuk dan will dari pemerintah sendiri. Pembentukkan PP tersebut lahir dari diskusi, pembacaan dan perhitungan dari aktor, seperti aktivis difabel yang artinya ada keterwakilan suara kawan-kawan difabel dan lembaga pemerintah yang turut berpartisipasi dan negosiasi. Meski partisipasi tersebut tidak menjamin teks kebijakan apapun akan dihasilkan baik ataupun buruk. Sebab, partisipasi mesti diikuti dengan kualitas partisipasi itu sendiri. Terkait poin kedua, mestinya PP ini sudah disahkan dua tahun setelah UU No.8 tahun 2016 diberlakukan. Namun kenyataannya, PP ini baru disahkan tiga tahun sekian bulan setelah UU terbit. Pertanyaan selanjutnya, apakah PP ini sudah merespon terhadap persoalan yang timbul dari program-program kebijakan sebelumnya terkait dengan kesejahteraan sosial bagi difabel. Jika menilik pendekatan yang digunakan PP ini, masih menitikkan pada individu difabel sebagai persoalan yang harus diselesaikan. Padahal persoalan kesejahteraan sosial bagi difabel hari ini adalah lingkungan itu sendiri. Teman-teman difabel bisa miskin, bukan karena dia malas bekerja, tapi karena lingkungan sosial yang membuatnya tidak bisa bekerja. Kenapa dia miskin? Karena ada situasi dan sistem sosial yang mesmikinkannya. Sehingga sebagai sebuah kebijakan, PP ini semestinya konsen pada pembenahan persoalan hambatan sosial. Persoalan lain, PP ini masih mengintegrasikan difabel dengan orang tidak mampu atau miskin yang sebenarnya masih sama dengan kebijakan ataupun program yang dibuat pemerintah sebelumnya. Pendekatan kemiskinan yang digunakan pemerintah, memasukkan difabel dalam kategori orang tidak mampu secara ekonomi. Difabel masuk dalam Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Merujuk pada persoala pendataan, Indonesia belum memiliki data komprehensif terkait jumlah difabel. Di dalam data orang msikin, difabel masuk di dalamnya. Saya kira pendataan hari ini kan juga sudah banyak yang masuk dari kawan-kawan difabel. Padahal kalau kita baca lagi, pendekatan pendataannya berbeda karena pendataan difabel tidak bisa disimplifikasi hanya kategori miskin. Kementrian Kesehatan dan Kementerian Sosial misal, masih melakukan pendataan difabel miskin. Di sini, ada beberapa problem, pertama yang terjadi adalah setiap pendataan, definisi yang dipakai berubah-ubah. Pada 1975 data difabel di Indonesia sangat tinggi, di atas 10 persen. Data tersebut didasarkan pada murni kategori tentang imperment yang dikaitkan dengan kesehatannya. Menggunakan instrumen internasional International Clasification impaimen of Disability and Healt (ICIDH). Setelah tahun 1975 sampai sekarang, data difabel semakin justru semakin turun sampai ada data difabel yang menyebutkan 5 persen yang kemudian disaring lagi kedalam kategori miskin. Problem kedua, difabel digali secara sektoral. Seperti kementerian sosial punya data sendiri, berikut juga kementerian kesehatan, pendidika n yang itu untuk kepentingan masing-masing. Selain itu, KPU juga memiliki data difabel dan bisa dibilang yang paling lengkap. Meski begitu, terbatas di usia 17 tahun keatas. Sedangkan untuk anak-anak difabel belum diakomodir. Pendekatan Kemiskinan Vs Pendekatan Kerentanan Merespon program kebijakan sosial pada tahun 2015, SIGAB Indonesia melakukan sebauh riset yang menggunakan pendekatan kerentanan. Hasil riset ini menjadi antitesis dari pendekatan kemiskinan yang digunakan pemerintah dalam mengimpelementasikan jaminan sosial untuk difabel. Riset juga menghasilakan kesimpulan bahwa difabel sangat rentan dalam konteks kemiskinan. Difabel sama dengan orang miskin karena, kemungkinan pendapatannya besar tapi pengeluarannya juga besar. Misal difabel harus ke rumah sakit, mobilitas yang harus mengeluarkan uang, kemudian ada personal asisten dan lain sebagainya. Apalagi misalkan difabel yang berkeluarga yang memiliki kebutuhan lebih banyak. Pendekatan kemiskinan difabel berbeda dengan kondisi kemiskinan non difabel. Model kerentanan ini berlaku universal. Meski menjadi kelihatan spesifik untuk difabel karena difabel punya biaya-biaya tambahan. Seseorang menjadi rentan itu karena ada penyebab-penyebabnya, entah itu lingkungan ataupun kondisi kedisabilitasannya. Seorang yang kaya sekalipun suatu ketika dia menjadi miskin karena tidak ada sistem jaminan sosial yang baik. Karena dia terhambat akses ke sarana-prasarana. Kerentanan menjadi satu kritik terhadap model kemiskinan yang hanya melihat pada berapa tingkat ekonominya, pendapatannya, propertinya yang dimiliki seperti apa, tanahnya keramik atau tidak dan lain sebagainya. Kerentanan lebih dari itu, tidak cukup hanya dari sisi ekonomi, tetapi juga perlu melihat seberapa bebannya dan berapa banyak pengeluaran. Artinya difabel ataupun non difabel memiliki peluang untuk menjadi rentan. Hanya kemudian difabel menajdi lebih berpeluang karena adanya biaya-biaya tambahan. Salah satu contoh di dalam riset tersebut adalah keluarga dengan anak difabel. Jika mereka harus memilih sekolah, maka orangtuanya harus menunggui anaknya. Sehingga orangtua tidak bisa bekerja. Jika orangtuanya bekerja, maka dia mereklakan anaknya tidak sekolah. Kemudian jika anaknya tidak mendapat akses pendidikan. Artinya secara sadar, keluara tersebut melahirkan keluarga miskin. Pendekatan kemiskinan ini sudah harus diubah, sehingga indikator penilaian juga harus diubah. Jila menggunakan indikator kemiskinan, difabel yang ada di keluarga menengah, misal, dia tidak akan menadapat jamianan kesehatan, tapi secara mandiri. Namun dengan pengeluaran seperti biaya terapi, membeli obat dan lain sebagainya, dia akan memungkinkan jatuh miskin. Mengartikulasikan PP Deifinisi kesejahteraan sosial seperti apa yang ada di dalam PP adalah terpenuhinya kebutuhan material, spiritual dan sosial warga Negara agar dapat hidup layak. Caranya dengan apa, rehabilitasi sosial, jaminan sosial dan perlindungan sosial. Dari hal tersebut kita bisa menerka-nerka program apa saja kedepan yang akan dibuat. Di situ isinya terkait dengan program pemberian mortivasi, difabel harus mampu bangkit, menghimbau, anjuran dan lainnya. Persoalannya adalah, apakah cara-cara ini tepat untuk difabel. Mengingat problemnya dalah lingkungan sosialnya bukan individu difabelnya. Mestinya, jika PP tersebut mengikuti kebutuhan tersebut, maka sasarannya adalah lingkungan sosialnya. PP tersebut masih menggunakan pendekatan individual, meski semangatnya adalah mengubah dari charity ke pendekatan sosial. PP ini mengatur atau memandatkan penyelenggaraan perlindungan sosial, jaminan sosial, kesejahteraan sosial dan rehabilitasi sosial bagi penyandang disabilitas. Tapi sebenarnya ada cara lain untuk menyelenggarakan empat hal tersebut agar lebih menajdwab kebutuhan difabel. Uatamnya yang harus berubah adalah lingkungan, dalam hal ini layanan publik yang harus diubah. Sebab, jika mengubah pandangan masyarakat, akan membutuhkan waktu panjang, tapi jika mengubah penyelenggaraan layanan publik, itu sangat memungkinkan dalam waktu dekat. Berikut ada beberapa rekom endasi yang bisa menjadi jalan untuk secara bersama mendorong dan mengimplementasikan PP ini. Pertama, perlu dibangun data komprehensif. Baru kemudian diambil secara sektoral berdasarkan kebutuhan sektor masing-masing. Idealnya, BPS dimampukan untuk melakukan pendataan tersebut, karena BPS memiliki infrastruktur. Namun, BPS punya keterbatasan dimana BPS tidak dapat mendata secara sektoral. Solusinya, kementerian sosial perlu bekerjasama dengan BPS. Kemensos berperan sebagai lembaga yang mengusulkan dan BPS yang melakukan pendataannya. Kedua, katakanlah pemberdayaan sosial, di situ ada banyak entrepreneurship, ada banyak peran dari swasta, bagaimana pemerintah kreatif dalam menginterpretasikan tujuan dari PP ini. Selain pemerintah, DPO juga perlu kreatif melihat aturan ini. Adanya aturan ini, DPO punya banyak pekerjaan untuk mengadvokasi, memberikan ide dan gagasan bagaimana yang terbaik bisa dilakukan. Ketiga, meski yang bertanggung jawab adalah kementerian sosial, tetapi PP tersebut berlaku lintas kementerian. Di dalam PP tersebut semangat yang ingin dikatakan adalah bahwa isu kesejahteraan sosial ini, tidak bisa diselesaikan oelh satu kemeterian saja. Harus ada kerjasama. Rehabilitasi semsila, ada pendiidkan dan lain sebagainya, perindustuian dan perdagangan.[] Untuk artikel inklusif lainnya sila klik solider.id Penulis: Robandi Editor: Robandi