Adab-adab Pelajar kepada Guru Menurut KH Hasyim Asy’ari (I)
Keberhasilan para ulama tidak bisa dilepaskan dari faktor etika kepada guru/kiainya. Bahkan sebagian ulama berpendapat bahwa 70 persen keberhasilan santri dikarenakan adabnya, 30 persen karena kesungguhannya. Ilmu para ulama tidak hanya bermanfaat untuk dirinya namun juga untuk masyarakat luas, tidak pula berkaitan dengan urusan ubudiyyah mahdlah namun juga berhubungan dengan interaksi sosial keumatan.
Bagaimana kiat dan langkah menjadi pelajar yang beretika kepada gurunya? Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy’ari dalam kitabnya Adab al-Alim wa al-Muta’allim menyebutkan ada 12 adab seorang santri kepada gurunya.
Pertama, berpikir matang-matang sebelum memilih guru.
Seorang santri tidak boleh sembarangan memilih guru yang hendak ia timba ilmu dan adabnya. Sebelum memutuskan siapa gurunya, hendaknya terlebih dahulu beristikharah, meminta petunjuk kepada Allah agar diberi guru yang terbaik untuk dirinya. Bila memungkinkan, guru yang dipilih sebaiknya adalah pribadi yang betul-betul mumpuni ilmunya, dapat menjaga harga dirinya, memiliki kasih sayang, dan masyhur keterjagaannya (dari hal-hal tercela). Guru sebaiknya juga seseorang yang baik penyampaiannya. Karena begitu pentingnya memilih seorang guru, sebagian ulama mengatakan:
هذا العلم دين فانظروا عمن تأخذون دينكم
“Ilmu ini adalah agama, maka lihatlah dari mana kalian mengambilnya.”
Kedua, memilih guru yang kredibel
Guru yang dipilih hendaknya orang yang mengerti agama secara sempurna, sanad keilmuannya jelas, yaitu mereka yang diketahui mengambil ilmu dari para masyayikh yang cerdas, dari gurunya lagi, hingga Rasulullah Saw. Tidak cukup belajar agama dari seseorang yang hanya mengambil ilmu dari buku-buku tanpa digurukan. Menurut Hadratussyekh, belajar tanpa memiliki sanad keilmuan yang jelas atau hanya mencukupkan dari buku-buku, sangat mengkhawatirkan. Rentan sekali terdapat kekeliruan. Oleh karenanya, di samping rajin membaca dan mempelajari buku-buku, penting sekali untuk mencari guru yang mentashih atau membenarkan. Rais akbar Nahdlatul Ulama tersebut mengutip statemen Imam Syafi’i radliyallahu ‘anh:
من تفقه من بطون الكتب ضيع الاحكام
“Barangsiapa belajar fiqih dari buku-buku (tanpa digurukan), maka ia telah menyia-nyiakan hukum-hukum agama.”
Ketiga, mematuhi segala perintah guru
Murid hendaknya adalah pribadi yang mentaati arahan gurunya. Sam’an wa tha’atan, mendengar dan mematuhi apa pun yang diarahkan gurunya. Ibarat pasien yang sakit, ia harus senantiasa mematuhi petunjuk dokternya. Berapa kali ia harus meminum obat dalam sehari, pola makan yang harus dijaga dan hal-hal lain yang diperintahkan oleh sang dokter. Demikian pula pelajar, bila ia ingin sembuh dari penyakit kebodohannya, ia harus menuruti resep pengajaran dari gurunya. Pasien yang susah diatur, banyak menentang dokternya, sulit bagi dia untuk sembuh.
Senada dengan pendapat KH Hasyim Asy’ari, dalam pandangan kaum shufi, posisi murid di hadapan gurunya, seperti jenazah di tangan orang yang memandikannya. Ia harus pasrah secara total, mau dimandikan dalam posisi bagaimanapun. Syekh Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan:
يتعين عليه الاستمساك بهديه والدخول تحت جميع أوامره ونواهيه ورسومه حتى يصير كالميِّت بين يدي الغاسل ، يقلبه كيف شاء
“Seharusnya murid berpegangan kepada petunjuk gurunya, tunduk patuh atas segala perintah, larangan dan garis-garisnya, sehingga seperti mayit di hadapan orang yang memandikan, ia berhak dibolak-balik sesuka hati.” (Syekh Ibnu hajar al-Haitami, al-Fatawi al-Haditsiyyah, juz 1, hal. 56)
Keempat, memandang guru dengan pandangan memuliakan.
Inilah salah satu cara yang lebih mendekatkan untuk mendapat ilmu yang bermanfaat menurut pandangan KH. Hasyim Asy’ari. Pelajar wajib memandang gurunya dengan penuh takzim. Tidak diperbolehkan bagi pelajar memandang remeh gurunya, merasa ia lebih pandai dari pada gurunya. Santri hendaknya memilik itikad yang baik terhadap gurunya, menganggap bahwa gurunya berada pada derajat kemuliaan. Beliau mengutip statemen sebagian ulama salaf:
من لا يعتقد جلالة شيخه لايفلح
“Barangsiapa tidak meyakini keagungan gurunya, tidak akan bahagia.”
Tidak etis murid menyebut gurunya hanya dengan namanya, tanpa diberi gelar kehormatan. Atau memanggil gurunya dengan ‘kamu’, ‘anda’ atau panggilan-panggilan yang merendahkan. Setiap menyebut gurunya saat beliau tidak ada, sebutlah dengan sebutan yang layak dan baik. Jangan ragu untuk bilang “guruku” “kiaiku yang alim”, “ustadzku yang cerdas”, dan sebutan-sebutan yang sejenis.
Kelima, tidak melupakan jasa-jasa guru.
Pelajar hendaknya mengenali hak gurunya, tidak melupakan jasanya, senantiasa mendoakannya, baik saat masih hidup atau setelah meninggal dunia. Juga perlu memuliakan kerabat, rekan dan orang-orang yang dicintai gurunya. Setelah gurunya wafat, sempatkan waktu untuk berziarah dan memintakan ampunan kepada Allah untuk sang guru di depan kuburnya. Dalam segala tingkah laku, metode pengajaran, amaliyyah dan hal-hal positif lainnya, hendaknya menirukan cara-cara yang ditempuh oleh gurunya. Demikianlah pelajar yang sesungguhnya menurut KH Hasyim Asy’ari, selalu memegang teguh prinsip gurunya.
Keenam, sabar menghadapi gurunya
Manusia tidak lepas dari luput dan salah, tidak terkecuali seorang guru. Sebagaimana manusia lainnya, tidak mungkin seorang guru bersih dari kesalahan. Terlebih saat banyak pikiran, terkadang emosi sulit dikendalikan. Maka dari itu, murid harus bisa memaklumi sikap gurunya yang terkadang membuat jengkel. Kendati gurunya melakukan kesalahan atau berlaku keras, hal tersebut tidak menghambat pelajar untuk terus ber-mulazamah (menimba ilmu) dan meyakini kemuliaan gurunya.
Anjurannya saat perilaku guru secara lahir salah, murid sebisa mungkin mengarahkannya kepada maksud yang baik, membuka pintu ta’wil. Mungkin beliau lupa, mungkin beliau dalam kondisi terdesak dan lain sebagainya. Saat guru memarahi murid, hendaknya murid mengawali untuk meminta maaf dan mengakui kesalahannya. Sikap yang demikian diharapkan dapat menambah kecintaan guru kepadanya. Justru dengan sering dimarahi gurunya, murid sepantasnya berterima kasih karena hal tersebut merupakan wujud kepeduliaan dan kecintaan, bukan sebuah kebencian.
Ketika murid dianggap melakukan kesalahan oleh sang guru, hendaknya tidak terlalu banyak beralibi, justru yang ditonjolkan adalah sikap terima kasih kepada guru atas kepeduliaannya. Bila betul-betul ada udzur dan memberitahukannya kepada guru dinilai lebih mashlahat, maka tidak masalah untuk dihaturkan kepada beliau, bahkan bila tidak mengklarifikasi menimbulkan mudlarat, murid harus menjelaskannya kepada guru.(red-m3)